Looking Back: Mempelajari Masa Lalu

Bayangkanlah diri Anda sebagai sebatang pohon. Anda bisa saja membayangkan pohon dari jenis apa pun, tergantung cara Anda melihat diri Anda saat ini. Bisa saja pohon itu adalah pohon jati, yang telah ditempa oleh waktu sehingga berdiri kokoh dengan batang kayu yang sangat kuat. Atau bisa juga pohon yang Anda bayangkan adalah pohon kelapa, yang hampir seluruh bagiannya bermanfaat. Daunnya bisa dijadikan atap gubuk, batangnya bisa dijadikan kayu bahan bangunan, buahnya jadi bahan makanan. Atau justru, yang terbayang oleh Anda adalah pohon labu. Buahnya yang besar dan berat seakan-akan beban hidup yang menggantung pada batang kurusnya yang hijau dan lemah.



Tetapi, pohon apa pun yang Anda bayangkan sebagai gambaran diri Anda saat ini, tak akan pernah bertahan hidup tanpa akarnya. Akar—inilah masa lalu kita. Entah kita terima atau tolak, ia menentukan pertumbuhan kita, dari sebatang tunas, lalu pohon kecil yang hanya memiliki beberapa helai daun, hingga menjadi siapa diri kita saat ini. Dan diri kita yang sejati, tak boleh menjadi pohon kerdil. Diri kita yang sejati bukan hanya pohon yang batang dan daunnya sehat, tapi juga memiliki akar yang kuat dan menjalar hingga menembus kedalaman yang ia butuhkan. Artinya, ketika sudah menemukan diri yang sejati, kita pun mencapai pemahaman yang utuh dan kokoh tentang diri sendiri lewat keakraban yang mantap dengan masa lalu yang menopang diri kita saat ini.



Kita adalah bentukan masa lalu kita. Suka atau tidak, menyenangkan atau menyakitkan, kita hanya bisa menerimanya. Kita tidak bisa membuangnya, mengubahnya, bahkan hanya menyentuhnya. Mesin waktu hanya ada di film-film fiksi-sains. Justru, semakin keras kita berusaha menyingkirkan masa lalu, ia akan bersembunyi dengan lebih lincah dan cerdik untuk kemudian merecoki masa depan.



Mengenai pengaruh endapan masa lalu terhadap kehidupan psikologis kita saat ini, di awal abad ke-20 muncul universitas sahid jakarta sebuah ilmu yang kita namakan psikoanalisis. Ilmu ini pada mulanya berkembang di Barat, namun kemudian pengaruhnya meluas dan mendunia. Kini banyak praktisi penelaah kejiwaan yang mengambil manfaat dari metodenya. Kita menyebut mereka psikoanalis.



Bila kita mempunyai fobia atau gangguan psikologis lainnya, psikoanalis akan membantu kita. Pertama-tama, dia akan meminta kita untuk berbaring serileks mungkin. Dia hanya akan membiarkan kita berkisah tentang diri kita, dengan cara kita sendiri dalam mengungkapkannya. Lantas, sang pakar akan menembus gerbang-gerbang kesadaran kita lewat sekelumit pertanyaan tajam yang mengorek masa lalu. Hingga di sepotong episode masa lalu tiba-tiba saja kita terkesiap, bungkam, tidak mampu menceritakan apa-apa, atau bahkan mungkin menggigil membayangkannya. Nah, saat itulah dia telah menemukan penyebab penyakit kejiwaan pasiennya: sebuah pengalaman traumatik yang ditimbun dalam-dalam.


Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *